Sekolah bertaraf internasional memang diamanatkan oleh UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Diharapkan agar setiap pemerintah daerah memiliki minimal satu sekolah pada setiap jenjang (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK)untuk didorong agar berkualifikasi internasional.
Apanya yang berlabel internasional? Ya, segalanya: SDM, fasilitas, kurikulum, pembelajaran, manajemen, networking/humas, kesiswaan. Pokoknya semuanya memiliki kualifikasi di atas standar nasional. Mimpi? Bisa ya, bisa tidak! Bagi pemerintah daerah yang memang dari 'sononya' sudah dilimpahi oleh sekolah-sekolah unggul, mungkin tak perlu pusing-pusing mendorong sekolahnya agar 'go international'. Namun jika sekolah-sekolah di suatu daerah memang hari-harinya penuh tawuran dan kebocoran/kerobohan gedungnya menjadi-jadi tentu wacana internasionalisasi sekolah ibarat jauh panggang dari api.
Berbagai strategi telah diterapkan pemerintah pusat dan pemda dalam konteks ini. Sejak dari yang namanya legislasi/payung hukum, penggelentoran dana, pendampingan manajemen, pelatihan pembelajaran, hingga kotak-katik model kurikulum dan penetapan negara-negara OECD sebagai benchmarking. Intinya memang bagaimana menjaga api semangat untuk terus memajukan pendidikan di republik agar tak gagap dengan hawa kekinian di seantero dunia. Meski hal ini memang ditingkahi dengan kondisi pragmatis pendidikan yang penuh liku-liku kondisi, dari yang terpuruk banget sampai ya itu tadi ingin berstandar internasional. Seolah-olah kalau semua sekolah sudah berlabel internasional, maka itulah muara 'mencerdaskan kehidupan bangsa'. Ya, seolah-olah ......
Padahal, seperti para pakar berkali-kali bicara, pendidikan kita harus mementingkan akhlak/budi pekerti/sikap yang baik. Beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa. Jika toh mengejar target berstandar internasional, maka jangan lupakan aspek akhlak ini. Depdiknas pun telah menggaris bawahi bahwa standar internasional perlu namun don't forget to the east culture. Bahwa kita menghirup udara Indonesia. Bahwa kita berbudaya Indonesia. Boleh para siswa cas cis cus piawai bekomunikasi dalam Bahasa Inggris, suasana kelas dan praktek diliputi oleh komunikasi Bahasa Inggris tapi tak berarti bahwa keramahan dan empati ala timur jadi luntur. Jepang dan Korea adalah teladan utama yang patut ditiru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terbuka sekali untuk dikomentasi, terima kasih.